Senin, 27 Mei 2019

DA'I YANG MENYESATKAN LEBIH BAHAYA DARI PENGUASA DZALIM

Oleh : Ust Fadlan Fahamsyah, Lc. MHI

Kalau da'i sudah menyesatkan, maka ia lebih berbahaya daripada penguasa zhalim

Diriwayatkan dari Sallam bin Abi Muthi' -rahimahullah- :

"لأن ألقى الله بصحيفة الحجاج أحب إلي أن ألقاه بصحيفة عمرو بن عبيد"

"Sekiranya aku bertemu Allah dengan catatan amalnya Al Hajjaj maka itu lebih kusukai daripada bertemu dengan-Nya dengan membawa catatan amal 'Amr bin 'Ubaid." (As Siyar 7/428)

Syaikh Abdul Malik Al Jazairi dalam daurah di Turki kemarin membawakan perkataan Sallam bin Abi Muthi' untuk membantah perkataan khariji (Orang Khowarij) yang mengatakan "Engkau Khawarij terhadap para da'i dan Murji'ah terhadap penguasa."

Hanya saja redaksi riwayatnya sedikit berbeda, dan ada tambahan:

لأنَّ الحجاج قتل الناس على الدنيا، وعمرو بن عبيد أحدث بدعة شنعاء قتل الناس بعضهم بعضاً

"Karena Al Hajjaj membunuh manusia untuk kepentingan dunia, sedangkan 'Amr bin 'Ubaid menciptakan bid'ah yang amat buruk yang menyebabkan manusia saling membunuh satu sama lain."

Yaitu bid'ah sekte Mu'tazilah.

Ternyata Al Hajjaj yang kejam dan bengis itu masih mending daripada 'Amr bin 'Ubaid yang bagus adabnya dan cerdas otaknya, sampai-sampai Hasan Al Bashri mengatakan tentangnya:

هذا سيد شباب أهل البصرة إن لم يحدِث

"Orang ini adalah sayyid para pemuda di Bashrah, seandainya ia tidak membuat-buat bid'ah".

Maka, setelah membaca ini, ada yang masih meremehkan pentingnya belajar aqidah yang benar dari ulama yang lurus ?

Masih menggampangkan berguru pada siapa saja yang penting terlihat berilmu dan santun, tanpa peduli apakah aqidahnya lurus atau tidak ?

Sabtu, 25 Mei 2019

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

والاستِحلالُ : اعتِقادُ أنها حلالٌ له

“Istihlaal adalah i’tiqaad (keyakinan) bahwasannya sesuatu itu halal baginya” [Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971].


Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

فإنَّ المُستحلَّ للشيء هو : الذي يفعله مُعتقِداً حِلَّه

“Karena sesungguhnya orang yang menghalalkan sesuatu adalah orang yang melakukannya dengan keyakinan akan kehalalannya” [Ighaatsutul-Lahfaan, 1/382].


Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :

الاستحلال هو : أن يعتقد الإنسان حلّ ما حرّمه الله ... وأما الاستحلال الفعلي فيُنظر : لو أن الإنسان تعامل بالربا , لا يعتقد أنه حلال لكنه يُصرُّ عليه ؛ فإنه لا يُكفَّر ؛ لأنه لا يستحلّه

“Istihlaal adalah seseorang yang meyakini kehalalan apa-apa yang diharamkan Allah….. Adapun istihlaal dalam perbuatan (fi’liy), maka dilihat : Seandainya seseorang yang bermuamalah dengan riba tanpa berkeyakinan bahwasannya ia halal, akan tetapi ia terus-menerus melakukannya; maka ia tidak dikafirkan, karena ia tidak menghalalkannya” [Al-Baabul-Maftuuh, 3/97, pertemuan ke-50, soal no. 1198].

Dari sini dapat kita ketahui bahwa istihlaal adalah masalah hati, karena hakekatnya merupakan i’tiqaad (keyakinan) akan halalnya sesuatu. Dikarenakan masalah hati, maka ia tidak diketahui kecuali dengan adanya kejelasan yang berasal dari pelakunya.
Sebagian orang mengatakan bahwa istihlaal dapat diketahui dengan adanya qarinah terus-menerus melakukan perbuatan dosa. Ini keliru, dan dapat dijawab dari empat sisi :
a.      Tidak ada satu pun ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin yang mengatakannya (yaitu, istihlaal yang mengkonsekuensikan kekafiran dapat dilihat dari perbuatannya). Seandainya hal itu benar, niscaya mereka (salaf) telah mendahului kita dalam hal ini.
b.      Kelaziman tersebut bertentangan dengan dua ijmaa’. Pertama, ijmaa’ peniadaan kekafiran atas orang yang yang melakukan dosa besar. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

اتَّفق أهل السنة والجماعة – وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar  telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya  meskipun itu dosa besar  “ [At-Tamhiid, 16/315].

Kedua, ijmaa’ tentang kafirnya orang yang menghalalkan perbuatan dosa. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

مَن فعل المحارم مستحلاً لها فهو كافر بالاتفاق

“Barangsiapa yang melakukan hal yang diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan ulama” [Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971].
Pemutlakan mereka (para ulama) atas ijmaa’ peniadaan kekafiran pelaku dosa besar bersamaan dengan ijmaa’ mereka atas kafirnya orang yang menghalalkan perbuatan dosa; sebagai dalil penafikan terus-menerus melakukan satu perbuatan dosa sebagai satu penghalalan (istihlaal).

c.      Anggapan terus-menerus melakukan perbuatan dosa sebagai satu penghalalan (istihlaal), akan mengkonsekuensikan pengkafiran para pelaku dosa. Padahal, ijmaa’ Ahlus-Sunnah berseberangan dengan hal tersebut.
d.      Hakekat istihlaal adalah i’tiqaad (keyakinan) akan halalnya sesuatu, maka hal itu tidak mungkin diketahui dengan pengetahuan yang yakin[3]  kecuali dengan adanya pengakuan atau ucapan dari orang yang mempunyai i’tiqaad tersebut.
Termasuk cabang dari bahasan ini adalah : Tidak ada bedanya antara seseorang yang melakukan perbuatan dosa sekali, atau dua kali, atau puluhan kali selama ia tidak menghalalkannya perbuatan tersebut, maka ia tidak dikafirkan. Sebaliknya, seseorang yang menghalalkan perbuatan dosa walau hanya sekali melakukannya, atau bahkan tidak melakukannya sama sekali (namun ia berkeyakinan kehalalannya), ia dikafirkan berdasarkan ijmaa’.
Inilah sedikit penjelasan mengenai istihlaal (yang mengkonsekuensikan kekufuran), semoga ada manfaatnya.[4]

[abul-jauzaa’  perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 29 Ramadlaan 1432 H; banyak mengambil faedah dari kitab Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, taqdiim : Muhammad bin Hasan Aalusy-Syaikh (anggota Lajnah Daaimah & Haiah Kibaaril-‘Ulamaa), hal. 12-15; Cet. 2/1429 H].

[1]      Perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah : ‘atau mengganti syari’at yang telah disepakati’, harus dipahami sesuai dengan orang yang mengatakannya (yaitu, Syaikhul-Islaam). Dalam tempat lain, beliau telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengganti syari’at yang mengkonsekuensikan kekafiran berdasarkan ijmaa’ :
الشرعُ المبدَّلُ : وهو الكذبُ على الله ورسوله ، أو على الناس بشهادات الزور ونحوها والظلم البيِّن ، فمن قال : ( إن هذا مِن شرع الله ) فقد كفر بلا نزاع
“Syari’at yang diganti : ia merupakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau terhdap manusia dengan persaksian-persaksian palsu dan yang semisalnya, dan merupakan kedhaliman yang nyata. Barangsiapa yang berkata : ‘Sesungguhnya ini termasuk syari’at Allah’, sungguh ia telah kafir tanpa ada perselisihan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/268].
Perkataan Ibnu Taimiyyah ini senada dengan perkataan Ibnul-‘Arabiy rahimahumallah :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat : Ahkaamul-Qur’an, 2/624].
[2]      Baca artikel : Penghalalan (Istihlaal) Dalam Amal Perbuatan Yang Mengkonsekuensikan Kekafiran.
[3]      Dikarenakan kekafiran harus berdasarkan keyakinan tanpa ada keraguan sedikitpun. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
[4]      Catatan penting : Tulisan ini tidak bermaksud membatasi kekafiran hanya karena istihlaal saja.
Apakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati Hanya Yang Berhukum Dengan Kitabullah?
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Bila seorang budak yg buntung dan berkulit hitam diangkat sebagai pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.

Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:

يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ

“Dia memimpin kalian dengan/berdasarkan Kitabullah“.

Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi

ما أقام لكم كتاب الله

“selama dia menegakan kitab Allah bagi kalian“.

Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukumNya juga mencakup Sunah Nabi-Nya”.

Berangkat dari dhahir hadits ini, disimpulkan bahwa JIKA SI PEMIMPIN TIDAK MEMIMPIN DENGAN KITABULLAH, ATAU TIDAK MENEGAKKAN KITABULLAH PADA RAKYATNYA, MAKA JANGAN DIDENGAR DAN DITAATI.

lalu, dari kesimpulan (mafhum mukhalafah) ini, dibuatlah definisi bahwa waliyyul amri adalah pemimpin yang menegakkan kitabullah saja. Selain itu bukanlah waliyyul amri yang kita tidak dilarang untuk berontak kepadanya.


🔴🔴 Benarkah pemahaman diatas??

Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

يقودكم بكتاب الله … ما أقام فيكم كتاب الله

“Yang membimbing kalian dengan kitabullah… Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”.

Itu i’rob-nya adalah sifat atau haal. Nah, sifat/haal itu sendiri tidak selamanya berarti muqayyidah (membatasi pengertian dari isim yg disifati/dijelaskan keadaannya), akan tetapi bisa pula berarti sifatun kaasyifah (sekedar menjelaskan tanpa bermaksud membatasi). Dan yang jenis kedua ini bisa dikenali bilamana fungsinya menjelaskan sifat yang biasa dijumpai pada isim tersebut.

Jika demikian kondisinya, maka sifat ini tidak punya mafhum mukhaalafah yang mu’tabar. Ini kaidah usul fiqih. Contohnya dalam ayat,

لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة

“Janganlah kalian memakan riba yg berlipat ganda” (QS. Ali Imran : 130).

Tidak berarti bahwa riba yang tidak berlipat ganda (sepertt bunga bank) boleh dimakan. Karena sifat/haal ‘berlipat ganda’ di sini bukan sifat/haal muqayyidah, tapi sifat/haal kaasyifah yang menjelaskan bahwa kebanyakan model riba yang ada saat ayat ini turun adalah riba berlipat ganda ala jahiliyyah.


Contoh lainnya pada ayat,

ولا تكرهوا فتياتكم على البغاء إن أردن تحصنا لتبتغوا عرض الحياة الدنيا

“Janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melacur BILA MEREKA INGIN MEMELIHARA KEHORMATANNYA, hanya karena kalian menginginkan materi duniawi…”. (QS. An-Nur : 33)

Ini juga sifat/haal kaasyifah yang tidak bisa difahami bahwa jika si budak memang tidak ingin memelihara kehormatannya, maka boleh kita paksa melacur lalu uang hasil pelacurannya kita makan. Sama sekali tidak. Ayat ini sekedar mensifati atau menjelaskan keadaan orang-orang jahiliyyah yang kerap memaksa budak-budak wanita mereka untuk melacur.


Demikian pula dalam hadits,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Siapa yg membikin perkara baru dalam urusan kami ini (agama) yg bukan bagian dari agama, maka perkara tsb tertolak“. (HR. Bukhari & Muslim)

Perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

ما ليس منه

“yang bukan bagian darinya“.

Tidak bisa difahami bahwa bila perkara muhdats (baru) tersebut adalah bagian dari agama, maka ia tidak tertolak. Namun menjelaskan bahwa semua perkara muhdats (yang baru dalam agama) adalah bukan bagian dari agama, dan ia tertolak.

Demikian pula dalam hadits yang difahami secara terbalik tersebut. Rasulullah mengatakan,

يقودكم بكتاب الله… ما أٌقام فيكم كتاب الله

“Yang membimbing kalian dengan kitabullah… Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”.

bukanlah sifat/haal muqayyidah, karena kita memiliki qarinah (indikasi) kuat berupa realita mayoritas umara’ dari masa Nabi hingga menjelang runtuhnya khilafah, semuanya berhukum dengan kitabullah.

Jadi, jelaslah bahwa kata-kata tersebut tidak memiliki mafhum mukhalafah yang mu’tabar. Alias tidak bisa difahami bahwa bila ybs tidak menggiring rakyatnya berdasarkan kitabullah kita suruh berontak.

Bukti lainnya ialah sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam menghadapi para khalifah yg memaksakan kekafiran kpd para ulama (Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq). Beliau mengkafirkan ucapan “Al Qur’an itu makhluk”. Bahkan menurut Al Khollal, beliau mengkafirkan Al Ma’mun secara personal. Namun tetap melarang angkat senjata. Bahkan setelah Khalifah Al Watsiq menyembelih sahabat imam Ahmad bernama Ahmad bin Nashr Al Khuza’iy, beliau tetap melarang para tokoh masyarakat dan ulama untuk berontak, demi menghindari pertumpahan darah. Beliau hanya menyuruh agar bersabar sampai orang-orang yg baik istirahat, atau diistirahatkan dari si bejat.

Ketika Imam Ahmad ditanya mengapa beliau tidak mengizinkan untuk berontak dengan senjata? Jawab beliau: “Aku khawatir timbul fitnah”.

Mereka pun balik bertanya: “Lho, bukankah saat ini kita sudah terkena fitnah” (karena dipaksa mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, padahal ini perkataan yg disepakati sebagai kekafiran akbar).

Maka kata Imam Ahmad, “Iya benar, namun fitnah saat ini sifatnya terbatas pada para ulama. Dan bila terjadi pemberontakan, maka fitnah ini akan melanda siapa saja”.

Artinya, saat itu hanyalah para ulama yg ditindas oleh penguasa dan dipaksa mengatakan kata-kata kufur tsb, sedangkan masyarakat secara umum tidak mendapat tekanan. Akan tetapi bila terjadi pemberontakan, maka semuanya akan merasakan dampak buruknya.



📛📛 Kesimpulannya:

Pemimpin yang tidak menegakkan kitabullah, tidak lantas diabaikan statusnya sebagai pemimpin. Sebab menegakkan Kitabullah pun sifatnya nisbi, Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq pernah melakukan dan memaksakan sesuatu yang diyakini oleh Ahlussunnah sebagai kekufuran, yang konsekuensinya mereka telah mengganti ajaran Kitabullah dengan ajaran bid’ah/kufur. Namun itu tidak cukup dijadikan alasan untuk melengserkan mereka. Alasannya, karena mereka masih punya penghalang untuk dikafirkan, atau karena pemberontakan tsb akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar.

Wallaahu ta’ala A’lam.


_______________________
Diambil dr tulisan Dr. Sufyan Baswedan hafizhahullah dengan pengurangan dan penambahan

Penyusun: Ust. Abu Yahya Badrusalam, Lc.

Artikel http://Muslim.or.id
Pertanyaan:

Ustadz tentang hadits : “walaupun dipimpin oleh hamba sahaya etiopia“. Bukankah ada tambahannya yaitu: “yang memimpinmu dengan kitabullah“. Sehingga ini menunjukkan bahwa boleh ditaati hanya yang berhukum dengan kitabullah?

Jawab:

Pertama: Tidak ragu lagi bahwa bila seorang pemimpin memerintahkan kepada suatu peraturan yang berlawanan dengan kitabullah tidak boleh ditaati. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang kita untuk menaati makhluk untuk memaksiati Allah. Ini adalah pokok yang disepakati oleh kaum muslimin.

Kedua: Namun maksud saya berdalil dengan hadits tersebut adalah untuk membantah pendapat bahwa syarat ulil amri yang ditaati adalah sebatas ulil amri hasil dari pemilihan yang sesuai syari’at.

Karena para ulama menyatakan bahwa syarat pemimpin adalah harus merdeka dan bukan budak atau hamba sahaya. Sedangkan dalam hadits itu disebutkan: “dengarlah dan taati pemimpin walaupun dipimpin oleh hamba sahaya ethiopia“. Sedangkan hamba sahaya tak boleh dipilih dalam pemilihan yang sesuai syariat islam. Bila ia menjadi pemimpin pasti caranya tidak sesuai syari’at Islam.

Ketiga: Tidak setiap yang berhukum dengan selain islam itu dikafirkan. Yang dikafirkan adalah yang menganggap halal berhukum dengan hukum selain Islam dan mengganggap bahwa Allah tidak mewajibkannya. Inipun dikafirkan setelah ditegakkan padanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat. Adapun yang meyakini keharamannya namun ia mengikuti hawa nafsu, maka ia tidak kafir menurut ijma ulama sebagaimana yang dikatakan oleh imam Al Qurthubi dalam kitab Al Mufhim Syarah Shahih Muslim.

Keempat: Perkataan “yang memimpinmu dengan kitabullah” tidak bisa difahami bahwa syarat ulil amri itu harus berhukum dengan hukum Allah seratus persen. Karena pemimpin yang berhukum dengan hukum Allah seratus persen telah hilang semenjak sistem pemerintahan berubah menjadi sistem kerajaan dan bukan khilafah ala minhajin nubuwah.

Di zaman imam Ahmad bin Hambal ada para pemimpin yang berkeyakinan kufur dengan mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Bahkan menyiksa dan membunuhi para ulama untuk mengikutinya. Namun imam Ahmad melarang untuk memberontak dengan berdasarkan hadits hadits yang melarang memberontak kepada ulil amri.

Kelima: Adanya hadits yang mengabarkan akan muncul pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku yang diriwayatkan oleh Muslim yang kemudian Nabi tetap menyuruh untuk menaatinya dalam perkara yang ma’ruf tentunya, adalah nash yang sharih dan gamblang bahwa mereka tetap dianggap muslim dan disebut ulil amri walaupun tidak mau mengambil petunjuk Nabi dan mengambil petunjuk selain Nabi.

_______
Sumber: channel telegram Al Fawaid

Penulis: Ust. Badrusalam Lc.

Artikel Muslim.or.id

.
Dahulu di zaman Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, penguasa saat itu mengadopsi akidah mu'tazilah sehingga akidah sesat tersebut menjadi akidah resmi pemerintah. Bukan hanya hal itu, ternyata pemerintah memaksa seluruh rakyat dan ulama untuk menganut pemahaman sesat tersebut.

Pemerintah saat itu memaksa rakyat dan ulama untuk mengatakan bahwa Al Qur'an bukan kalamullah, Al Qur'an adalah makhluk dan menjadikan pemahaman ini sebagai kurikulum resmi di madrasah-madrasah, pengajian-pengajian di Masjid. Mereka juga menangkap, menyiksa bahkan menumpahkan darah siapa saja yang menolak akidah mu'tazilah tersebut.

Apakah Al Imam Ahmad bereaksi dengan melakukan pemberontakan atas kezhaliman dan kesesatan penguasa tersebut ?
Ahmad Abul Harist pernah bertanya kepada Al Imam Ahmad bin Hanbal mengenai hal ini. Ia bertanya kepada beliau mengenai fenomena fitnah yang terjadi di Baghdad ketika peristiwa itu terjadi, dan keadaan sebagian kaum yang ingin memberontak.

 يا أبا عبد الله ، ما تقول في الخروج مع هؤلاء القوم

"Wahai Abu 'Abdillah (Al Imam Ahmad), apa pendapat anda jika aku memberontak bergabung bersama kaum tersebut ?"

 فأنكر ذلك عليهم ، وجعل يقول : سبحان الله ! الدماء الدماء ! لا أرى ذلك ، ولا آمر به ، الصبر على ما نحن فيه خير من الفتنة يسفك فيها الدماء ، ويستباح فيها الأموال ، وينتهك فيها المحارم ، أما علمت ما كان الناس فيه ، يعني أيام الفتنة .

"Maka beliau mengingkari hal tersebut dan beliau berkata : ' Subahanallah! Darah ! Darah !, saya tidak sependapat dengan hal tersebut dan tidak pula menganjurkannya. Bersabar pada keadaan kita saat ini jauh lebih baik dari pada fitnah dan ditumpahkannya darah, dihalalkannya harta dan dijatuhkannya kehormatan. Apakah anda tidak mengatahui apa yang telah terjadi pada manusia masa silam (yaitu fitnah) ?

قلتُ : والناس اليوم، أليس هم في فتنة يا أبا عبد الله ؟

"Maka aku menjawab : Bukankah saat ini pun manusia sudah berada didalam fitnah wahai Abu 'Abdillah ?"

قال : وإن كان ، فإنما هي فتنة خاصة ، فإذا وقع السيف عمَّت الفتنة ، وانقطعت السبل ، الصبر على هذا ، ويسلم لك دينك خير لك

"Kemudian beliau menjawab : Walaupun demikian, namum ini adalah fitnah yang khusus. Apabila pedang telah terhunus, fitnah telah meluas dan jalan jalan telah tertutup, maka sabar dalam keadaan seperti saat ini dan menyelamatkan agamamu adalah lebih baik bagimu !"

ورأيته ينكر الخروج على الأئمة ، وقال: الدماء ! لا أرى ذلك ، ولا آمر به

(Kemudian Ahmad Abul Harist berkata) :
"Saya melihat beliau mengingkari memberontak terhadap para penguasa (pemerintah), dan beliau berkata : ' Darah, saya tidak sependapat dengan hal tersebut dan tidak pula memerintahkannya'."

[dikutip dari Kitab Al Wardul Maqthuf hal. 40-41 terbitan Maktabah Al Furqan]

Mengikuti pendapat Al Imam Ahmad dll dalam masalah ini tentu lebih selamat ketimbang saya mengikuti pendapat selain beliau apalagi jika dari pendapat orang orang belakangan.

Pendapat tinggallah pendapat, kita hanya bisa mempertanggung jawabkan sikap kita di hadapan Allah kelak.

Hamba Allah yang faqir

Copas
🔲 KONDISI PENGUASA TARTAR 
↔↔↔↔↔↔↔🔹🔹🔹🔹🔹🔹

dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah - :

1. [يجعلون دين الإسلام كدين اليهود والنصارى، وأن هذه كلها طرق إلى الله، بمنزلة المذاهب الأربعة عند المسلمين‏.‏ ثم منهم من يرجح دين اليهود أو دين النصارى، ومنهم من يرجح دين المسلمين]

“Mereka menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nashrani, dan bahwa semua (agama) ini merupakan jalan menuju Allah. (Kedudukan agama-agama tersebut) seperti kedudukan madzhab yang empat pada kaum muslimin. Lalu di antara mereka ada yang memilih agama Yahudi, Nashrani, atau agama Islam” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/523].

2. [حتى إن وزيرهم الخبيث الملحد المنافق صنف مصنفًا، مضمونه أن النبى صلى الله عليه وسلم رضى بدين اليهود والنصارى، وأنه لا ينكر عليهم، ولا يذمون ولا ينهون عن دينهم، ولا يؤمرون بالانتقال إلى الإسلام]

“Hingga wazir (menteri) mereka yang buruk, mulhid (atheis), lagi munafiq menulis satu tulisan yang isinya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meridlai agama Yahudi dan Nashrani, dan beliau tidak mengingkari mereka, tidak mencela mereka, tidak melarang mereka dari agama mereka, serta tidak menyuruh mereka untuk pindah kepada agama Islam” [idem, 28/526].

3. [فهذا وأمثاله من مقدميهم كان غايته بعد الإسلام أن يجعل محمداً صلى الله عليه وسلم بمنزلة هذا الملعون‏.‏ ومعلوم أن مسيلمة الكـذاب كان أقل ضرراً على المسلمين من هذا، وادعى أنه شريك محمد فى الرساله، وبهذا استحل الصحابة قتاله وقتال أصحابه المرتدين، فكيف بمن كان فيما يظهره من الإسلام يجعل محمدًا كجنكسخان‏؟‏‏!‏]

“Orang ini dan semisalnya dari pendahulu mereka mempunyai tujuan setelah Islam  untuk menjadikan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti kedudukan orang terlaknat ini (yaitu Jenghis Khaan). Dan telah diketahui bahwa Musailamah al-kadzdzaab lebih sedikit kemudlaratannya pada keum muslimin daripada orang ini. Musailamah dulu mendakwakan dirinya sebagai sekutu Muhammad dalam hal risalahnya. Atas dasar ini, para shahabat menghalalkan untuk membunuhnya dan membunuh para pendukungnya dari kalangan murtadiin. Lantas, bagaimana dengan orang yang menampakkan dirinya sebagai seorang muslim namun menjadikan Muhammad seperti Jenghis Khaan ?!” [idem, 28/522].

4. [كما قال أكبر مقدميهم الذين قدموا إلى الشام، وهو يخاطب رسل المسلمين ويتقرب إليهم بأنا مسلمون‏.‏ فقال‏:‏ هذان آيتان عظيمتان جاءا من عند الله، محمد وجنكسخان‏.‏ فهذا غاية ما يتقرب به أكبر مقدميهم إلى المسلمين، أن يسوى بين رسول الله وأكرم الخلق عليه وسيد ولد آدم وخاتم المرسلين، وبين ملك كافر مشرك من أعظم المشركين كفراً وفساداً وعدواناً من جنس بختنصر وأمثاله]

“Sebagaimana dikatakan orang terbesar mereka tedahulu saat datang ke negeri Syaam, yang berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka serta mengaku bahwa mereka adalah kaum muslimin. Ia berkata : ‘Dua orang ini adalah ayat terbesar yang datang dari sisi Allah’, mereka adalah Muhammad dan Jenghis Khaan. Maka ini tujuan orang terbesar mereka terdahulu ketika mengadakan pendekatan kepada kaum muslimin dengan menyamakan Rasulullah – makhluk paling mulia, penghulu anak Adam, dan penutup para Rasul – dengan raja kafir, musyrik yang dia itu termasuk sebesar-besar orang musyrik dalam kekafiran, kerusakan, permusuhan, seperti Nebukadnezar dan semisalnya” [idem, 28/521].

5. [وذلك أن اعتقاد هؤلاء التتار كان فى جنكسخان عظيما، فإنهم يعتقدون أنه ابن الله من جنس ما يعتقده النصارى فى المسيح، ويقولون‏:‏ إن الشمس حبلت أمه، وأنها كانت فى خيمة فنزلت الشمس من كوة الخيمة فدخلت فيها حتى حبلت‏.‏ ومعلوم عند كل ذى دين أن هذا كذب‏.‏ وهذا دليل على أنه ولد زنا، وأن أمه زنت فكتمت زناها، وادعت هذا حتى تدفع عنها مَعَرَّة الزنا]

“Yang demikian itu karena keyakinan orang-orang Tartar terhadap Jenghis Khan sangat besar. Mereka meyakini bahwa ia adalah anak Allah seperti keyakinan orang Nashrani terhadap Al-Masih. Mereka mengatakan : Sesungguhnya matahari menghamili ibunya, dahulu ibunya ada di sebuah kemah lalu turunlah matahari dari lubang kemah dan masuk ke dalamnya hingga hamil. Padahal sudah diketahui oleh setiap orang yang beragama bahwa ini adalah sebuah kedustaan, dan ini merupakan dalil bahwa ia adalah anak zina, dan ibunya berzina, lalu menyembunyikan perbuatannya itu dan mendakwakan hal ini agar terlepas dari aib perzinaan” [idem, 28/521].

6. [وهم مع هذا يجعلونه أعظم رسول عند الله فى تعظيم ما سنه لهم وشرعه بظنه وهواه،حتى يقولوا لما عندهم من المال‏:‏هذا رزق جنكسخان،ويشكرونه على أكلهم وشربهم، وهم يستحلون قتل من عادى ما سنه لهم هذا الكافر الملعون المعادى لله ولأنبيائه ورسوله وعباده المؤمنين]

“Mereka juga menjadikannya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam pengagungan apa-apa yang disunnahkan dan disyari’atkannya atas dasar prasangka dan hawa nafsunya, sampai-sampai mereka mengatakan ketika mereka memiliki sebagian harta : ‘Ini adalah rizki dari Jenghis Khan’. Mereka mensyukurinya ketika makan dan minum, mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi apa-apa yang disunnahkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini, yang memusuhi Allah, para Nabi dan Rasul-Nya, serta para hamba-Nya yang beriman” [idem, 28/521-522].

Inilah di antara keadaan raja Tartar yang masuk agama Islam dan berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan pengingkaran dan penghalalan. Mereka juga tenggelam dalam hal-hal yang membatalkan ke-Islaman mereka. Jika demikian, maka tidak ada perbedaan pendapat mengenai kekafiran mereka ini. Inilah yang dimaksud dengan objek ijma’ kekafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Sekaligus, ini sebagai penjelas apa yang dituliskan oleh Ibnu Katsir saat menafsirkan QS. Al-Maaidah ayat 50 :

ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المُحْكَم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات والجهالات، مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما يحكم به التتار من السياسات الملكية المأخوذة عن ملكهم جنكزخان، الذي وضع لهم اليَساق وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام قد اقتبسها عن شرائع شتى، من اليهودية والنصرانية والملة الإسلامية، وفيها كثير من الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه شرعًا متبعًا، يقدمونها على الحكم بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم. ومن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله، حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله [صلى الله عليه وسلم] فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير،

“Allah ta’ala mengingkari orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam dan mencakup segala kebaikan, yang mencegah segala bentuk kejahatan, dan berpaling kepada selain hukum Allah berupa pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, hawa nafsu, dan berbagai istilah yang dibuat oleh orang-orang dengan tidak didasarkan pada syari’at Allah sebagaimana dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang diletakkan berdasarkan pada pandangan dan hawa nafsu mereka. Sebagaimana orang-orang Tartar berhukum dengan hal-hal tersebut dalam politik kerajaan yang diambil dari raja mereka Jenghis Khaan yang dibuat oleh Yaasiq, berupa sebuah kitab yang mengandung hukum yang bersumber dari bermacam-macam syari’at : Yahudi, Nashrani, dan Islam. Di dalamnya terdapat banyak hukum yang diambil yang hanya berdasarkan pendapat dan hawa nafsu, lalu menjadi syari’at yang diikuti oleh anak cucunya. Mereka mengutamakannya daripada berhukum kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang berbuat seperti itu di antara mereka, maka ia kafir dan wajib diperangi hingga ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak menjadikan selainnya sebagai hakim sedikit ataupun banyak” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/131].

Penjelasan Ibnu Katsir di atas kembali kepada keadaan para raja Tartar sebagaimana telah dijelaskan. Orang yang dikafirkan dalam konteks ini adalah orang yang mengikuti raja-raja Tartar dalam hal pengingkaran dan penghalalan terhadap selain hukum Allah, serta ketenggelaman mereka dalam hal-hal yang membatalkan Islam, sehingga akhirnya keluar (murtad) dari agama Islam.

Hal ini sangat selaras dengan perincian yang disebutkan Ibnu Katsir saat membahas ayat hukum :

﴿وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ لأنهم جحدوا حكم الله قصداً منهم وعناداً وعمداً، وقال ههنا : ﴿فَأُوْلَـئِكَ هُم الظَّالِمُون﴾ لأنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم في الأمر الذي أمر الله بالعدل والتسوية بين الجميع فيه، فخالفوا وظلموا وتعدوا

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Yang demikian itu karena mereka mengingkari (juhd) hukum Allah secara sengaja dan penuh pembangkangan. Sedangkan dalam ayat ini Allah ta’ala berfirman : ‘(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah), Maka mereka itu adalah orang-orang yang dhaalim’ (QS. Al-Maaidah : 45). Yang demikian itu karena mereka tidak berlaku adil kepada yang didhalimi atas tindakan orang dhalim dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan (memberlakukan) secara sama di antara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan berbuat dhalim” [Tafsir Ibnu Katsir 3/120, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayibah, Cet. 2/1420 H].

Perhatikan ! Al-Haafidh Ibnu Katsir telah memerinci siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir ketika seseorang berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah. Mereka yang kafir adalah mereka yang mengingkari dengan penuh pembangkangan. Sedangkan yang orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena terpengaruh hawa nafsunya, sementara dalam hatinya masih mengakui eksistensi dan kewajiban untuk berhukum dengan hukum Allah – tidak dikafirkan. Ia termasuk orang yang salah lagi dhalim.

Dan sebelumnya, beliau juga membawakan riwayat :

وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس، قوله: { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر. ومن أقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق. رواه ابن جرير.

“Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; ia berkata : Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir. Dan barangsiapa yang mengakuinya, namun tidak menjalankannya, maka adalah orang yang dhalim lagi fasiq” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/119].

Penjelasan perincian dari Ibnu Katsir mengenai masalah tahkim (berhukum) dengan selain yang diturunkan Allah adalah menyepakati perincian yang telah ditetapkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma di atas (baca juga artikel : Shahih Atsar Ibnu ‘Abbas : Kufrun Duuna Kufrin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiiriyyuun). Sungguh sangat berbeda dengan prinsip takfiriyyuun yang telah membutakan mata mereka atas penjelasan Ibnu Katsir yang terangnya melebihi matahari di siang hari.

Oleh sebab itu, pengkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah ditetapkan secara mutlak, namun tetap memerlukan perincian di sisi Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah.

Wallaahu ta’ala a’lam.

[Abul-Jauzaa’ – banyak mengambil penjelasan dari buku Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Dr. Khaalid Al-Anbariy, kitab yang telah dipuji oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallaah, yang diberikan taqdim oleh Asy-Syaikh Prof. Dr. Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hafidhahullah].


[1] Di antara mereka adalah Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisiy – yang kemudian banyak di-taqlidi oleh bapak Ustadz Aman ‘Abdurrahman – tokoh bom Cimanggis. Orang-orang HASMI Bogor juga banyak mengikuti pemikiran ini.
Tolak Ukur Disebut Negara Muslim Atau Kafir
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Salah satu kesalahan mendasar yang difahami sebagian ikhwah tentang perbedaan negara kafir dan muslim adalah ketika tolok ukurnya hanya penerapan undang-undang buatan siapa, buatan Alloh atau manusia.

Perlu difahami bahwa tolok ukur negara dikatakan muslim itu macam-macam, tidak hanya satu tolok ukur,dan para ulama pun berbeda-beda.

Jadi tidaklah benar jika berhukum dengan undang-undang buatan manusia dan dijadikan sebagai tolok ukur untuk memvonis suatu negara muslim atau kafir.


📙📙 Berbagai tolok ukur negara muslim dan kafir diantaranya:

✔✔ 1. Kekuasaan dipihak kaum muslimin atau kaum kafir. Jika dipihak kaum muslimin maka negara muslim, dan jika dipihak kafir maka negara kafir.

Ibnu Hazm rohimahullah berkata: “Suatu negara itu dilihat dari kekuasaan, mayoritas (penduduknya), dan penguasa atau pemimpinnya.” (lihat Al Muhalla:13/140)


✔✔ 2. Penampakkan hukum-hukum dan syiar Islam secara umum, seperti: Sholat Jum’at, Iedul Fithri, Iedul Adha, puasa Ramadhan, haji tanpa adanya larangan dan kesulitan. Dan bukanlah semua hukum Islam harus ditegakkan.


✔✔ 3. Dikumandangkan adzan dan didirikan sholat.
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rosulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam menyerang (musuh) ketika adzan dikumandangkan. Jika beliau mendengar adzan, maka beliau tidak jadi menyerang. Tapi jika
tidak terdengar adzan, maka beliau akan melancarkan serangan.” (HR. Bukhori: 610, Muslim: 1365)


✔✔ 4. Mayoritas penduduknya
Ibnu Hazm rohimahullah berkata: “Suatu negara itu dilihat dari kekuasaan, mayoritas (penduduknya), dan penguasa atau pemimpinnya.” (lihat Al Muhalla: 13/140)

Adapun kaitannya dengan sistem kafir (buatan manusia), para ulama menerangkan bahwa seseorang yang berhukum dengan hukum selain hukum Alloh, berarti dia telah melakukan sebuah kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Tapi, bisa jadi kekafiran kecil ini berubah menjadi besar jika dia menganggap dan berkeyakinan halal atau bolehnya berhukum dengan selain hukum Alloh* atau dia berkata: “saya tidak merasa wajib atau harus berhukum dengan hukum Alloh”. Semisal mengatakan berhukum dengan selain hukum Alloh lebih baik daripada berhukum dengan hukum Alloh, atau hukum-hukum dan undang-undang lainnya sama saja dengan hukum Alloh, dan perkataan semisalnya. Jika demikian berarti ia telah melakukan kekafiran yang besar (keluar dari Islam).

Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq


__________________________________
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله

Bimbingan Islam (BIAS)
DISKUSI SINGKAT MENJAWAB SYUBHAT TERHADAP PENGUASA
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

↔↔ Jika mereka berkata : Apakah memberontak dari penguasa yang zhalim menyelisihi ushûl (pokok) ahli sunnah?

✔✔  Kita jawab : Iya!



↔↔ Jika mereka bertanya : mana dalilnya?

✔✔  Maka kita jawab : Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah :

إلا أن تروا كفرا بواحا

“Kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata.”



↔↔ Mereka berkata : kekufuran tsb = maksiat


✅✔✔ Maka kita jawab : Salah, berdasarkan hadits ‘Auf bin Mâlik :

ألا من ولي عليه والي فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة

“Ketahuilah orang yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu ia melihat ada sesuatu dari penguasa tersebut berupa maksiat kepada Allâh, maka bencilah perbuatan maksiatnya namun janganlah sekali² mencabut ketaatan.”



↔↔ Mereka beralasan : Umar Radhiyallâhu ‘anhu mengatakan : قوموني “Luruskan saya”

✔✔ Kita jawab : sekiranya shahih, maksudnya apabila ungkapan ini memang valid dari Umar, maka yang dimaksud dengan التقويم di sini adalah bermakna الإصلاح (mengoreksi) bukanlah bermakna التغيير (merubah).



↔↔ Jika mereka bertanya : kita mau bersabar sampai kapan?

✔✔ Maka kita jawab : berdasarkan hadits Usaid

حتى تلقوني على الحوض

“sampai kalian bertemu denganku (Rasulullah) di telaga surga”



↔↔ Jika mereka bertanya : bagaimana cara kita mengambil hak kita?

✔✔ Maka kita jawab : berdasarkan hadits Ibnu Mas’ûd

وتسألون الله الذي لكم

“Dan kalian meminta Allâh yang menjadi hak kalian.”



↔↔ Jika mereka beranggapan : ketaatan itu hanya bagi penguasa yang kita ridhai, bukan yang berkuasa yg cara penggulingan kekuasaan.

✔✔  Kita jawab : Bahkan kita juga wajib taat terhadap penguasa yang berhasil berkuasa dengan cara penggulingan kekuasaan, berdasarkan hadits al-Irbadh :
وإن تأمر عليكم عبد حبشي

“Walaupun yang berkuasa atas kalian adalah seorang hamba Ethiopia.”



↔↔ Jika mereka berkata : Kesabaran hanyalah bagi penguasa yg berhukum dg syariat namun ia melampaui batas. Adapun penguasa yg tidak berpetunjuk dg syariat dan berhukum dengan hawa nafsunya, maka nash yg memerintahkan utk sabar tidak berlaku bagi mereka.

✔✔  Maka kita jawab : Anda keliru, berdasarkan hadits Hudzaifah :
لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي…  فاسمع وأطع

“Penguasa yg tidak berpetunjuk dengan petunjukku dan sunnahku… Tetaplah dengar dan taatilah.”



↔↔ Jika mereka bertanya : dimana pemahaman salaf?

✔✔  Kita jawab : Mereka bersepakat tentang haramnya memberontak. Yang menukilkan kesepakatan ini adalah an-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah dan asy-Syaukani.



↔↔ Jika mereka berargumen : Bagaimana bisa dikatakan sepakat padahal Ibnu Zubair melakukan pemberontakan (keluar dari ketaatan)?

✔✔ Kita sanggah : Anda keliru, karena beliau tidak memberontak thd waliyul amri (penguasa) karena pada saat itu blm ada imam utama bagi kaum muslimin, karena kondisi saat itu berubah² pasca wafatnya Yazid, sedangkan Ibnu Zubair dibaiat oleh penduduk Makkah dan wilayah Hijaz tunduk di bawah beliau.



↔↔ Jika mereka beralasan : bagaimana dengan keluarnya al-Husain?

✔✔ Maka kita jawab : Beliau tidaklah keluar untuk melepaskan ketaatan, namun penduduk Bashrah menipu beliau dan berkata kepada beliau untuk mendatangi mereka karena mereka tidak memiliki imam.  Setelah beliau sadar telah tertipu, beliau pun menyesal dan meminta untuk kembali kpd keluarga beliau atau pergi mendatangi Yazid atau ke tapal batas. Namun beliau ditahan secara zhalim dan mereka membunuh beliau dengan zhalim hingga menjemput Syahid, semoga Allâh meridhai beliau.



↔↔ Jika mereka berdalih : selain mereka berdua juga ada ulama yg memberontak, maka di mana kesepakatannya?

✔✔ Kita jawab : Ibnu Hajar berkata :

خروج جماعة من السلف كان قبل استقرار الإجماع على حرمة الخروج على الجائر

“Keluarnya (memberontaknya) sejumlah salaf dari penguasa, terjadi sebelum adanya  ketetapan ijma’ (konsensus) mengenai haramnya memberontak thd penguasa yang jahat.” (Mirqâtul Mafâtih juz 1125)

Dan an-Nawawi menukilkan :

وقيل أن هذا الخلاف كان أولا ثم حصل الإجماع على منع الخروج عليهم

“Dikatakan bahwa perselisihan ini terjadi di awal, kemudian setelah itu terjadi ijma’ atas larangan memberontak dari penguasa.”



↔↔ Mereka berkata : harga² pada naik semua dan hidup jadi semakin sulit lantaran kezhaliman penguasa

✔✔  Kita katakan : Sekiranya bangsa ini melakukan pemberontakan niscaya kehidupan akan semakin sempit, keamanan akan hilang, darah kaum muslimin tertumpah dan kehormatan ternodai. Setiap orang yang mengetahui sejarah, akan yakin bahwa pemberontakan itu tidak akan membawa kebaikan sedikitpun walau sehari saja.



↔↔ Jika mereka bertanya : Kalau begitu, apa solusinya?

✔✔ Kita jawab : Solusinya adalah dengan bertaubat dan beristighfar.
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

“Sesungguhnya Allah tdk akan merubah suatu kaum sampai mereka yang merubah keadaan mereka sendiri.”
Yaitu dengan cara merubah syirik menjadi tauhid, bid’ah menjadi sunnah dan maksiat menjadi ketaatan…

ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض

“Sekiranya para penduduk kampung itu beriman dan bertakwa, niscaya kami bukakan bagi mereka keberkahan di langit dan bumi.” (al-A’râf).

Pernah dikatakan kpd sebagian salaf :
غلت الأسعار

“Harga² pada naik.”

Mereka menjawab :
اخفضوها بالاستغفار

“Turunkan lah dengan istighfâr.”



________________________________________________________
📎 Dishare oleh saudara kami, al-Ustâdz Ali Hasan Bawazier
✏ Dialihbahasakan oleh Abû Salmâ
#⃣ Channel Telegram Al-Wasathiyah wal I’tidâl

Pembatal Kekuasaan Seorang Ulil Amri
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨


⚫⚫ Pertanyaan

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Ustadz, terkait pemimpin (ulil amri), apakah tidak ada pembatalnya?
Contoh: pemimpin yang terpilih wanita, atau mengikuti ritual syirik agama lain, atau murtad.

Syukron, Ustadz.
Jazaakallahu khoiron wa baarakallaahu fiik.

(Ryan Abu ‘Abdilghaniy, Admin BiAS N04)



⚫⚫ Jawaban

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Pembatalnya hanya satu, ketika si penguasa tersebut berstatus sebagai orang kafir dengan kekufuran yang jelas, kekufuran yang nyata yang tidak menimbulkan keraguan berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di dalam riwayat berikut ini:

عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau.

Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa).

Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” (HR. Bukhari: 7005, Muslim: 1709).

Adapun mengikuti ritual syirik maka jelas ini adalah perbuatan syirik namun pelakunya belum tentu menjadi orang musyrik. Karena bisa jadi ia melakukannya karena faktor kejahilan atau dipaksa atau… atau dan seterusnya. Sehingga penguasa yang melakukan kesyirikan itu belum memenuhi kriteria Kufron Bawwah (kekufuran yang nyata). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

كنت أقول للجهمية من الحلولية1،والنفاة الذين نفوا أن الله تعالى فوق العرش،لما وقعت محنتهم: أنا لو وافقتكم كنت كافرا، لأني أعلم أن قولكم كفر، وأنتم عندي لا تكفرون، لأنكم جهال. وكان هذا خطابا لعلمائهم وقضاتهم وشيوخهم وأمرائهم, وأصل جهلهم شبهات عقلية حصلت لرؤوسهم مع قصور عن معرفة المنقول الصحيح والمعقول الصريح الموافق له

“Dahulu aku mentakan kepada orang-orang jahmiyyah penganut ajaran manunggaling kawulo gusti, dan penganut ajaran yang menolak sifat-sifat Allah dan menolak bahwa ALlah ada di atas ‘Arsy ketika terjadi fitnah mereka kala itu:

‘Aku sendainya aku menyetujui ucapan kalian (wahai jahmiyyah) maka niscaya aku menjadi orang kafir, karena aku ngerti ucapan kalian ucapan kufur. Namun menurut aku kalian ini tidak kafir, karena kalian ini jahil.’

Dan pernyataan ini aku tujukan kepada para ulama’ mereka, para qadhi mereka, para syaikh mereka, para pemimpin mereka. Dan pokok dari kejahilan mereka adalah syubhat akal yang bersemayam di kepala mereka, serta ketidak fahaman mereka teradap dalil shahih dan penalaran yang sehat yang disepakati.” (Ar-Radd ‘Alal Bakri: 259).

Lihat baik-baik, renungkan pelan-pelan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini. Orang yang beliau anggap ulama sekalipun ketika melakukan kekufuran tidak beliau kafirkan jika mereka masih memiliki syubhat dan kejahilan terhadap apa yang mereka lakukan. Bagaimana dengan penguasa kita yang sangat minim ilmu agamanya?

Adapun wanita, ia tidak boleh menjadi penguasa, ini idelanya. Namun jika berhasil menduduki tampuk kekuasaan maka ia tetap ditaati dan tidak gugur kekuasaannya.

Wallahu a’lam



_____________________________
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Abul Aswad Al-Bayaty حفظه الله

Bimbingan Islam (BIAS)
Nasehat Bersabar Dibawah Penguasa Yang Dzolim Dan Berpegang Teguh Memegang Prinsip Salaf
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

⚫⚫ Pertanyaan​


 بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz selalu dalam perlindungan Allah Ta’ala.

Ustadz, terkait pembahasan Kitab “Mu’aamalatul Hukkaam” Bagian ke-2 mengenai “Fenomena Perhatian Salaf terhadap Prinsip Mendengar dan Taat pada Penguasa”, pertanyaan ana:

Bagaimana cara membuat agar hati kita untuk tetap bersabar di dalam pemerintahan penguasa yang dzolim dan tetap teguh memegang prinsip para Salaf?
Syukron Ustadz.

(Esti , Admin T06)


⚫⚫ Jawaban​

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga hati kita tetap bersabar di dalam pemerintahan penguasa meskipun dzalim dan tetap teguh memegang prinsip para Salaf. Dan semoga Allah tetapkan bagi kita semua kemenangan di dunia dan akhirat.


📙 Kiat agar kita tetap bisa istiqamah berpegang teguh dengan prinsip salafush shalih sangat beragam, diantara sekian banyak kiat yang bisa kita lakukan adalah :

✔ 1. Selektif di dalam memilih guru ngaji terutama kajian yang membahas masalah aqidah dan manhaj.

Syaikh Shalih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan berkata :

 إن اختيار المدرس المستقيم في عقيدته وفي علمه أمر مطلوب وإذا لم يمكن , ووجدت من عنده معرفة في الفقه –مثلاً- أو النحو والعلوم التي لا تتعلق بالعقيدة , فلا بأس أن تدرس عنده في العلوم التي يحسنها ,
أما العقيدة فلا تدرسها إلا عند أهل العقيدة الصحيحة .

“Sesungguhnya memilih guru yang lurus aqidah serta ilmunya adalah sebuah keharusan. Adapun jika tidak memungkinkan, dan engkau mendapati orang yang memiliki ilmu fikih misalnya atau ilmu nahwu atau ilmu-ilmu lainnya yang tidak berkaitan dengan aqidah, maka tidak mengapa engkau belajar kepada dia dalam ilmu yang ia kuasai.

Adapun ilmu aqidah jangan engkau mempelajarinya melainkan kepada pemilik aqidah yang shahih/benar.”

(Sumber Fatwa, ; Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘Anil As’ilatil Manahijil Jadidah : 165).



✔ 2. Menyibukkan diri mempelajari aqidah ahlis sunnah wal jama’ah dengan membaca kitab-kitab aqidah yang ditulis oleh para ulama sunnah dengan intensif, struktural dan sabar.

Serta mengurangi membaca berita-berita yang bersliweran di media sosial, media elektronik serta media masa lainnya. Yang demikian seringkali berita ini menjadi pemicu untuk seseorang menolak dalil hanya karena lebih mempercayai berita yang kebenarannya teramat sangat relatif. Berbeda dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang kebenarannya mutlak.


Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jaza’iri berkata :

“Peringatan keras dari hobi suka menyebar-nyebarkan berita. Karena berita itu membawa keamanan dan rasa takut, sedangkan jiwa itu lemah.

Belum lagi jiwa itu memiliki syahwat/nafsu untuk selalu ingin mengetahui berita-berita terutama berita yang berkaitan dengan masalah kursi/kekuasaan. Sesungguhnya hati itu cenderung lebih condong kepadanya, serta cenderung berpaling dari wahyu.



Sa’ad berkata : ‘Allah telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam‘.

Lantas beliau? membacakan Al-Quran itu kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam waktu yang lama, merekapun kemudian berkata :

“Wahai Rasulullah seandainya engkau mengabarkan kepada kami kisah-kisah.”.

(Madarikun Nadzar Fis Siyasah : 223 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jaza’iri).



✔ 3. Memperbanyak berdoa memohon kepada Allah ta’ala agar diberikan keistiqamahan dan ketundukan terhadap syariat.

Diantara lafadz doa yang bisa kita amalkan ialah :

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat Yang Maha membolak-balikan hati, balikkanlah hati kami kepada agama-Mu.” (HR Tirmidzi : 2140 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi : 2140).



✔ 4. Menjauhi fitnah/kekacauan serta menjauhi syubhat.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 إنَّ السَّعيدَ لمن جُنِّبَ الفتنَ

“Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah orang yang dijauhkan dari fitnah beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Abu Dawud : 4263 dishihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihut Targhib Wat Tarhib : 2743).



✔ 5. Menjauhi debat kusir.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 ﺃَﻧَﺎ ﺯَﻋِﻴﻢ ﺑِﺒَﻴْﺖ ﻓِﻲ ﺭَﺑَﺾ اﻟْﺠَﻨَّﺔ ﻟِﻤَﻦ ﺗَﺮَﻙ اﻟْﻤِﺮَاء ﻭَﺇِﻥ ﻛَﺎﻥ ﻣُﺤِﻘًّﺎ

 “Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar.”

(HR Abu Dawud : 4800 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 1464).

Wallahu a’lam




_________________________________
Dijawab dengan ringkas oleh :

Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله

Bimbingan Islam (BIAS)
Apakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati Hanya Yang Berhukum Dengan Kitabullah?
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Bila seorang budak yg buntung dan berkulit hitam diangkat sebagai pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.

Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:

يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ

“Dia memimpin kalian dengan/berdasarkan Kitabullah“.

Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi

ما أقام لكم كتاب الله

“selama dia menegakan kitab Allah bagi kalian“.

Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukumNya juga mencakup Sunah Nabi-Nya”.

Berangkat dari dhahir hadits ini, disimpulkan bahwa JIKA SI PEMIMPIN TIDAK MEMIMPIN DENGAN KITABULLAH, ATAU TIDAK MENEGAKKAN KITABULLAH PADA RAKYATNYA, MAKA JANGAN DIDENGAR DAN DITAATI.

lalu, dari kesimpulan (mafhum mukhalafah) ini, dibuatlah definisi bahwa waliyyul amri adalah pemimpin yang menegakkan kitabullah saja. Selain itu bukanlah waliyyul amri yang kita tidak dilarang untuk berontak kepadanya.
Benarkah pemahaman diatas??

Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

يقودكم بكتاب الله … ما أقام فيكم كتاب الله

“Yang membimbing kalian dengan kitabullah… Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”.

Itu i’rob-nya adalah sifat atau haal. Nah, sifat/haal itu sendiri tidak selamanya berarti muqayyidah (membatasi pengertian dari isim yg disifati/dijelaskan keadaannya), akan tetapi bisa pula berarti sifatun kaasyifah (sekedar menjelaskan tanpa bermaksud membatasi). Dan yang jenis kedua ini bisa dikenali bilamana fungsinya menjelaskan sifat yang biasa dijumpai pada isim tersebut.

Jika demikian kondisinya, maka sifat ini tidak punya mafhum mukhaalafah yang mu’tabar. Ini kaidah usul fiqih. Contohnya dalam ayat,

لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة

“Janganlah kalian memakan riba yg berlipat ganda” (QS. Ali Imran : 130).

Tidak berarti bahwa riba yang tidak berlipat ganda (sepertt bunga bank) boleh dimakan. Karena sifat/haal ‘berlipat ganda’ di sini bukan sifat/haal muqayyidah, tapi sifat/haal kaasyifah yang menjelaskan bahwa kebanyakan model riba yang ada saat ayat ini turun adalah riba berlipat ganda ala jahiliyyah.

Contoh lainnya pada ayat,

ولا تكرهوا فتياتكم على البغاء إن أردن تحصنا لتبتغوا عرض الحياة الدنيا

“Janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melacur BILA MEREKA INGIN MEMELIHARA KEHORMATANNYA, hanya karena kalian menginginkan materi duniawi…”. (QS. An-Nur : 33)

Ini juga sifat/haal kaasyifah yang tidak bisa difahami bahwa jika si budak memang tidak ingin memelihara kehormatannya, maka boleh kita paksa melacur lalu uang hasil pelacurannya kita makan. Sama sekali tidak. Ayat ini sekedar mensifati atau menjelaskan keadaan orang-orang jahiliyyah yang kerap memaksa budak-budak wanita mereka untuk melacur.

Demikian pula dalam hadits,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Siapa yg membikin perkara baru dalam urusan kami ini (agama) yg bukan bagian dari agama, maka perkara tsb tertolak“. (HR. Bukhari & Muslim)

Perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

ما ليس منه

“yang bukan bagian darinya“.

Tidak bisa difahami bahwa bila perkara muhdats (baru) tersebut adalah bagian dari agama, maka ia tidak tertolak. Namun menjelaskan bahwa semua perkara muhdats (yang baru dalam agama) adalah bukan bagian dari agama, dan ia tertolak.

Demikian pula dalam hadits yang difahami secara terbalik tersebut. Rasulullah mengatakan,

يقودكم بكتاب الله… ما أٌقام فيكم كتاب الله

“Yang membimbing kalian dengan kitabullah… Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”.

bukanlah sifat/haal muqayyidah, karena kita memiliki qarinah (indikasi) kuat berupa realita mayoritas umara’ dari masa Nabi hingga menjelang runtuhnya khilafah, semuanya berhukum dengan kitabullah.

Jadi, jelaslah bahwa kata-kata tersebut tidak memiliki mafhum mukhalafah yang mu’tabar. Alias tidak bisa difahami bahwa bila ybs tidak menggiring rakyatnya berdasarkan kitabullah kita suruh berontak.

Bukti lainnya ialah sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam menghadapi para khalifah yg memaksakan kekafiran kpd para ulama (Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq). Beliau mengkafirkan ucapan “Al Qur’an itu makhluk”. Bahkan menurut Al Khollal, beliau mengkafirkan Al Ma’mun secara personal. Namun tetap melarang angkat senjata. Bahkan setelah Khalifah Al Watsiq menyembelih sahabat imam Ahmad bernama Ahmad bin Nashr Al Khuza’iy, beliau tetap melarang para tokoh masyarakat dan ulama untuk berontak, demi menghindari pertumpahan darah. Beliau hanya menyuruh agar bersabar sampai orang-orang yg baik istirahat, atau diistirahatkan dari si bejat.

Ketika Imam Ahmad ditanya mengapa beliau tidak mengizinkan untuk berontak dengan senjata? Jawab beliau: “Aku khawatir timbul fitnah”.

Mereka pun balik bertanya: “Lho, bukankah saat ini kita sudah terkena fitnah” (karena dipaksa mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, padahal ini perkataan yg disepakati sebagai kekafiran akbar).

Maka kata Imam Ahmad, “Iya benar, namun fitnah saat ini sifatnya terbatas pada para ulama. Dan bila terjadi pemberontakan, maka fitnah ini akan melanda siapa saja”.

Artinya, saat itu hanyalah para ulama yg ditindas oleh penguasa dan dipaksa mengatakan kata-kata kufur tsb, sedangkan masyarakat secara umum tidak mendapat tekanan. Akan tetapi bila terjadi pemberontakan, maka semuanya akan merasakan dampak buruknya.



📛📛 Kesimpulannya:

Pemimpin yang tidak menegakkan kitabullah, tidak lantas diabaikan statusnya sebagai pemimpin. Sebab menegakkan Kitabullah pun sifatnya nisbi, Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq pernah melakukan dan memaksakan sesuatu yang diyakini oleh Ahlussunnah sebagai kekufuran, yang konsekuensinya mereka telah mengganti ajaran Kitabullah dengan ajaran bid’ah/kufur. Namun itu tidak cukup dijadikan alasan untuk melengserkan mereka. Alasannya, karena mereka masih punya penghalang untuk dikafirkan, atau karena pemberontakan tsb akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar.

Wallaahu ta’ala A’lam.


_________________________
Diambil dr tulisan Dr. Sufyan Baswedan hafizhahullah dengan pengurangan dan penambahan

Penyusun: Ust. Abu Yahya Badrusalam, Lc.

Artikel http://Muslim.or.id
PERBAIKI DIRIMU SEBELUM MENGKRITISI PENGUASAMU
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

Berikut ini adalah perkataan indah yang mengagumkanku. Betapa senangnya diriku bisa membagikannya kepada Anda…


قال الإمام أبو بكر محمد بن الوليد الطرطوشي في كتابه الفذ ( سراج الملوك ) ما نصه الباب الحادي والأربعون

في كما تكونوا يولى عليكم

▪Imam Abu Bakr Muhammad bin al-Walîd ath-Thurthûsyî berkata di dalam bukunya yang spesial, Sirâjul Mulûk, Bab ke-41 : Fî Kamâ Takûnû Yuwallâ ‘alaikum [Sebagaimana keadaan kalian maka begitu pula keadaan penguasa kalian]. Beliau berkata :

لم أزل أسمع الناس يقولون: أعمالكم عمالكم، كما تكونوا يولى عليكم، إلى أن ظفرت بهذا المعنى في القرآن؛ قال الله تعالى: “وكذلك نولي بعض الظالمين بعضاً” الأنعام: 129 .

“Saya sering mendengarkan orang-orang mengatakan :  Amalan kalian menentukan penguasa kalian. Sebagaimana kondisi kalian maka begitu pula kondisi penguasa kalian. Sampai (suatu ketika) saya berhasil menemukan makna ucapan ini di dalam al-Qur’ân. Allah berfirman :

(وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berkuasa satu dengan lainnya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan



▪Ada pula yang berkata :

ما أنكرت من زمانك فإنما أفسده عليك عملك.

“Saya tidaklah mengingkari sesuatu dari zamanmu, karena sesungguhnya yang paling merusak dirimu adalah amalanmu sendiri.”


▪Abdul Mâlik bin Marwân berkata :

ما أنصفتمونا يا معشر الرعية، تريدون منا سيرة أبي بكر وعمر ولا تسيرون فينا ولا في أنفسكم بسيرتهما، نسأل الله أن يعين كل على كل.

“Betapa tidak adilnya kalian kepada kami wahai rakyatku sekalian. Kalian menginginkan agar kami bisa berlaku seperti Abû Bakr dan Umar sedangkan kalian sendiri tidak berlaku seperti mereka berdua di dalam menyikapi kami, termasuk terhadap diri kalian sendiri. Semoga Allåh menolong kita semua atas segala hal..”


▪Qotâdah berkata :

قالت بنو إسرائيل: إلهنا أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف نعرف رضاك من سخطك؟ فأوحى الله تعالى إلى بعض أنبيائهم: إذا استعملت عليكم خياركم فقد رضيت عنكم، وإذا استعملت عليكم شراركم فقد سخطت عليكم.

“Bani Israil mengadu : ‘Wahai Tuhan kami, Kau berada di atas langit sedangkan kami di bumi. Bagaimana kami bisa mengetahui mana yang Kau ridhai dari yang Kau murkai??’

Maka Allâh Ta’âlâ pun mewahyukan (Jawaban-nya) melalui sebagian Nabî mereka : ‘Jika yang Kukuasakan kepada kalian adalah orang² baik dari kalian, maka artinya Aku meridhai kalian. Namun jika yang Kukuasakan kepada kalian adalah orang² buruk kalian, maka artinya Aku murka kepada kalian.’


▪Ubaidah as-Salmânî berkata kepada ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallâhu anhu :

يا أمير المؤمنين ما بال أبي بكر وعمر انطاع الناس لهما، والدنيا عليهما أضيق من شبر فاتسعت عليهما ووليت أنت وعثمان الخلافة ولم ينطاعوا لكما، وقد اتسعت فصارت عليكما أضيق من شبر؟

“Wahai Amirul Mu’minin, mengapa Abu Bakr dan Umar lebih banyak ditaati manusia sedangkan dunia saat itu begitu sempitnya bagi mereka, kemudian Allâh lapangkan bagi mereka berdua. Lalu setelah Anda dan Utsmân yang memegang kekuasaan menjadi Khalifah, kenapa banyak yang tidak mau taat kepada anda berdua, padahal dunia sudah diluaskan namun menjadi sempit bagi kalian berdua??

Sontak Ali bin Abi Thâlib Radhiyallâhu anhu menjawab :

 لأن رعية أبي بكر وعمر كانوا مثلي ومثل عثمان، ورعيتي أنا اليوم مثلك وشبهك! .

Karena rakyatnya Abu Bakr dan Umar saat itu seperti aku dan Utsmân, sedangkan rakyatku saat ini seperti kamu dan yang semodel kamu!!


▪Saudara Muhammad bin Yusuf menulis surat padanya, mengeluhkan jahatnya para pegawai (negara). Lantas Muhammad bin Yusuf pun membalas suratnya :

 بلغني كتابك وتذكر ما أنتم فيه، وليس ينبغي لمن يعمل المعصية أن ينكر العقوبة، ولم أر ما أنتم فيه إلا من شؤم الذنوب، والسلام .

“Telah sampai tulisanmu kepadaku yang anda ceritakan kondisi anda di dalamnya. Tidaklah layak orang yang berbuat maksiat, malah mengingkari hukuman atas kemaksiatannya.

Menurutku, anda dalam kondisi seperti ini tidak lain dan tidak bukan adalah lantaran dosa anda sendiri. Wassalam.
ℳـ₰✍



_____________
​✿❁࿐❁✿​

@abinyasalma

Dari grup نصائح الشيخ الوليد
Abusalma.net
Kebobrokan Penguasa Karena Kebobrokan Kita
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

Jika kita mengeluhkan kejam dan bobroknya penguasa, maka tugas kita adalah memperbaiki diri, keluarga kita, orang-orang di sekitar kita dan umat secara umum. Agar mereka kembali kepada Islam yang benar, agar mereka menunaikan hak-hak Allah, dan menjalankan agama dengan benar. Karena kebobrokan penguasa, itu karena kebobrokan kita sebagai rakyat.

Ibnul Qayyim dalam Miftah Daaris Sa’adah (2/177-178) mengatakan:

وتأمل حكمته ـ تعالى ـ في أن جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس أعمالهم، بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم

Renungkanlah, bahwa diantara hikmah Allah Ta’ala adalah menjadikan penguasa-penguasa di antara para hamba sesuai dengan keadaan amalan mereka. Bahkan sangat nampak keadaan agama mereka pada keadaan penguasa-penguasa mereka.

– فإن استقاموا؛ استقامت ملوكهم.

Jika mereka istiqomah (konsisten menjalankan agama), penguasa mereka juga akan istiqomah

– وإن عدلوا؛ عدلت عليهم.

Jika mereka adil, penguasa mereka juga akan adil

– وإن جاروا؛ جارت ملوكهم وولاتهم
.
Jika mereka bermaksiat, penguasa mereka juga akan bermaksiat

– وإن ظهر فيهم المكر والخديعة؛ فولاتهم كذلك.

Jika mereka gemar melalukan makar dan penipuan, penguasa mereka juga demikian

– وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها؛ منعت ملوكهم وولاتهم مالهم عندهم من الحق، وبخلوا بها عليهم.

Jika mereka melanggar hak-hak Allah, penguasa-penguasa mereka akan melanggar hak-hak mereka

– وإن أخذوا ممن يستضعفونه ما لا يستحقونه في معاملتهم؛ أخذت منهم الملوك ما لا يستحقونه، وضربت عليهم الْمُكوس والوظائف

Jika mereka suka mengambil yang bukan haknya dari kaum lemah dalam berbagai muamalah, maka penguasa mereka pun akan mengamil yang bukan haknya (dari rakyat), akan menarik pajak dan membebankan pekerjaan-pekerjaan.

وكل ما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة

Selama mereka gemar memeras orang lemah, penguasa mereka akan memeras rakyatnya dengan kekuasaannya.

فَعُمَّالُهم ظهرت في صور أعمالهم.

Maka amalan mereka, akan nampak pada amalan penguasa mereka.

وليس في الحكمة الإلهية أن يولَّى على الأشرار الفجار إلا من يكون من جنسهم.

Bukanlah hikmah ilahiyyah jika Allah memberikan penguasa kepada umat yang buruk lagi fujjar (gemar melanggar ajaran agama), kecuali penguasa mereka juga demikian.

وَلَمَّا كان الصدر الأول خيار القرون وأبرها؛ كانت ولاتهم كذلك، فلما شابوا شيبت لهم الولاة

Oleh karena itu dahulu generasi awal, generasi terbaik, generasi tershalih dari umat Islam, penguasa mereka juga demikian. Bagaimana mereka terwarnai, demikianlah warna dari penguasa mereka.

فحكمة الله تأبى أن يولِّي علينا في مثل هذه الأزمان مثل معاوية، وعمر بن عبد العزيز، فضلاً عن مثل أبى بكر وعمر، بل ولاتنا على قدرنا، وولاة من قبلنا على قدرهم، وكلا الأمرين موجب الحكمة ومقتضاها

Maka merupakan hikmah Allah, ketika di zaman kita sekarang ini Allah belum menjadikan penguasa-penguasa kita semisal Muawiyah, Umar bin Abdil Aziz, lebih lagi seperti Abu Bakar dan Umar. Karena penguasa-penguasa kita, sesuai dengan kadar diri-diri kita sekarang ini, dan penguasa-penguasa umat Islam terdahulu, sesuai dengan kadar-kadar diri mereka. Setiap perkara ada hikmah dan konsekuensinya.


____________________________
Sumber tulisan: Kang Aswad
Artikel Situs Sunnah
MAKNA DARUL ISLAM (NEGARA ISLAM)
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

📋✏ Oleh Muhammad ‘Ali ‘Ishmah Al-Medany

Buletin Al-Manhaj Edisi V/1419 H/1998 M (dengan sedikit koreksi format dan redaksional tanpa mengubah makna)
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Dalam memahami makna Darul Islam (negara Islam) terjadi perselisihan di kalangan kelompok-kelompok yang ada sekarang. Maka kita memandang perlu kiranya kita membawakan makna negara Islam yang benar dalam kesempatan ini.

“Para ahli fiqih berselisih dalam kaitan hukum terhadap negara Islam yang mungkin dibawakan secara umum menjadi dua pendapat:

⚫ Pendapat pertama: Patokan untuk menghukum sebuah negara adalah dengan realitas hukum yang berlaku di negeri itu.

⚫ Pendapat kedua: Patokan hukum terhadap sebuah negara adalah dipandang dari sisi keamanan.


Keterangan dua pendapat ini sebagai berikut:

⬛ Penjelasan Pendapat pertama: Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa patokan hukum terhadap sebuah negara apakah dia negara Islam atau negara kufur adalah dengan realitas hukum­-hukum yang berlaku di negara itu. Dalam kitab Al Iqna’ (dan syarhnya 3/43) didefinisikan tentang Darul Harb (negara kafir yang diperangi) adalah: “Bila hukum kafir yang lebih dominan di situ”. Al Kisani (dalam Bada’i’ush Shanai’ 7/ 130) berkata: “Tidak ada perselisiahan di kalangan para sahabat kami bahwa negara kufur akan menjadi negara Islam dengan realitas hukum-hukum Islam yang berlaku padanya”. Ibnul Qayyim (dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/366) berkata: “Negara Islam adalah tempat yang ditempati kaum muslimin dan berlaku hukum Islam padanya. Dan kalau tidak berlaku hukum Islam padanya, bukanlah sebagai negara Islam walau berdekatan dengan negara Islam.”

Dan inilah pendapat jumhur ulama (Fatawa Hindiyyah 2/232, Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/ 366). Walau mereka berselisih dalam tafsir “hukum-hukum yang berlaku di negara tersebut” , apakah sisi tindakan pemerintahnya atau rakyatnya, yakni syi’ar-syi’ar yang dhahir seperti shalat dan yang sejenisnya. Ini menurut dua sisi dari mereka dalam defenisinya:

Sisi pertama: yang dimaksud dengan berlakunya hukum-hukum tersebut adalah dari tindak tanduk pemerintah dalam kekuasaan politik, jika kekuasaan politik dipegang oleh kaum muslimin, maka negara itu disebut dengan Darul Islam. Kalau tidak, maka sebaliknya. Dan ini yang dipegangi oleh orang­orang Hanafi (Fatawa Hindiyyah 2/232). As Sarkhasi berkata: “Yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara adalah penguasa dan kekuatan untuk merealisasikan hukum-hukum negara.” (Syarhus Siyar 5/1073) Ibnu Hazm menerangkan alasan ucapan ini dengan: “Karena sebuah negara disandarkan kepada yang menang, yang menjadi penguasa dan yang menjadi rajanya.” (Al Muhalla 11/200, 2198)

Dan dengan inilah seluruh ulama yang hidup sekarang memberi fatwa, di antaranya: Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Al Fatawa 6/ 166) , Syaikh Abdurrahman As Sa’di (Fatawa As Sa’diyyah hal.98) dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Fatawa Muhammad Rasyid Ridha 5/1918). Dan konsekuensi pendapat ini adalah:

“mungkin negara itu adalah negara Islam walau semua penduduknya orang kafir selama penguasanya masih or­ang Islam dan menghukum dengan hukum Islam.”

Sisi kedua: Yang dilihat adalah patokan hukum terhadap negara adalah amalan penduduknya – syi’ar-syi’ar yang tampak di situ- maka jika hukum-hukum Islam seperti shalat tampak dengan jelas, maka negara itu disebut dengan negara Islam, kalau tidak, maka disebut dengan negara kafir. Dengan ini sebagian orang mazhab Hanafi menafsirkan hukum dengan ucapannya: Darul harb (negara yang harus diperangi) akan menjadi negara Islam dengan berlakunya hukum kaum muslimin di situ, seperti mendirikan shalat Jum’at dan Ied-ied, walau orang kafir asli ada di situ. ” (Ad Duraarul Hikam 1/259) Sebagian para ahli fiqih berkata: “Darul Islam adalah yang tampak padanya dua kalimat syahadat dan shalat serta tidak tampak padanya bagian kekafiran… kecuali dengan perlindungan atau Ahli dzimmah dan keamanan dari kaum muslimin. Dan darul harb adalah yang kekuasaannya dipegang oleh orang kafir dan kaum muslimin tidak mendapatkan perlindungan.” (Uyunul Azhar hal.228)

Dan yang tampak dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah sesuai dengan pendapat ini yang mana beliau berkata: “Keadaan negara itu disebut dengan negara kufur, iman atau negara orang-orang fasiq bukanlah suatu sifat yang tetap melekat padanya. Tapi itu hanya sifat yang mendatang tergantung penduduknya. Maka setiap negara yang dihuni oleh kaum mukminin yang bertaqwa adalah negara para wali Allah pada waktu itu. Dan setiap negara yang dihuni oleh orang-orang kafir, maka dia adalah negeri kafir pada waktu itu. Dan setiap negeri yang dihuni oleh orang-orang fasiq, maka dia adalah negara orang fasiq pada waktu itu. Kalau penghuninya selain dari yang kita sebutkan tadi dengan berubah kepada yang lain, maka itu negeri mereka'(Majmu’ Fatawa 18/282)



⬛ Penjelasan Pendapat kedua: sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa kaitan hukum terhadap sebuah negara adalah faktor keamanan. Jika kaum muslimin aman di sebuah negeri, maka negeri itu adalah negeri Islam. Kalau tidak aman, maka negeri itu adalah negeri kafir. As Sarkhasi berkata: “Sesungguhnya negara Islam adalah nama untuk sebuah tempat yang berada di bawah kekuasaan kaum muslimin, tandanya adalah dengan amannya kaum muslimin.” (Syarhus Siyar 3/81)



⬛⚫⬛ Kesimpulan:

Pendapat yang kuat  wallahu a’lam  adalah: “Sesungguhnya patokan penilaian syari’at Islam terhadap sebuah negara adalah realitas hukum yang berlaku di negara itu, karena hukum-hukum itulah yang membedakan antara negeri Islam atau kafir. Islam dan kekufuran masing-masingnya mempunyai cabang, yang masing­masing cabang itu mempunyai hukum tersendiri, maka apabila berkumpul dalam sebuah negeri kadar tertentu dari cabang­cabang Islam dan hukum-hukumnya, maka negeri itu adalah negeri Islam. Dan kalau tidak, maka tidak. Adapun keamanan, itu adalah faktor yang bersifat mendatang sebagai hasil dari hukum yang berlaku, maka dia adalah sifat yang tidak mempengaruhi penilaian terhadap sebuah negara (yakni penilaian apakah negara Islam atau tidak).

Hukum-hukum ini adalah kumpulan dari kondisi rakyat dan penguasa, maka tidak boleh dihukumi sebuah negara sebagai negara Islam atau negara kufur kecuali setelah melihat dua faktor (kondisi rakyat dan pengausa) ini. Bersamaan dengan itu juga mengikut sertakan kaidah-kaidah sebagai berikut:

🔷a. Ketika dikatakan bahwa patokan penilaian terhadap sebuah negara (apakah negara Islam atau negara kufur) adalah realitas hukum Islam yang berlaku, maka bukannya yang dimaksudkan di sini ialah penerapan seluruh hukum Islam tersebut. Karena ini adalah hal yang jarang terjadi dalam sejarah kaum muslimin kecuali di masa Nabi dan para khulafa’ur rasyidin (khalifah-khalifah yang terbimbing). Kemudian secara perlahan hukum itu gugur satu demi satu. Maka tidak ada di suatu negeri atau masa kecuali hukum Islam selalu ada yang gugur.

🔷b.Hukum-hukum yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara (apakah dia negaraa islam atau tidak) berbeda­beda tingkatannya. yang paling agung di antara hukum yang dijadikan penilaian itu adalah shalat. Dan memang shalat patokan yang paling agung dalam menilai kondisi penguasa, khususnya dalam menilai sebuah negara. Ini dinyatakan dalam beberaapa hadits:

a. Dari Abu Umamah Al Bahili bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan lepas tali Islam seutas demi seutas, maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” (HR. Ahmad 5251)

b. Hadits-hadits yang menyebutkan kebolehan untuk memberontak kepada para pengauasa adalah karena mereka meninggalkan shalat, karena dia (shalat) adalah batas akhir yang menyatakan seseorang itu sebagai muslim.

Dan juga bila tidak ada didengar suara adzan atau tidak didapati masjid, maka itu menjadi tanda bahwa negeri itu adalah negeri kufur. Dan bila didengar adzan dan ditemui masjid dan menjadi lambang negeri itu, maka negeri itu adalah negeri Islam.

Ini dikuatkan dengan beberapa hadits:

Pertama: Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah biasa menyerang musuh di waktu fajar akan terbit sambil mendengarkan dengan seksama suara adzan. Bila beliau mendengar adzan, beliau tidak menyerangnya dan bila tidak mendengarnya beliau menyerangnya.” (HR Muslim 1/288)

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa suara adzan bisa menahan serangan kepada para penduduknya, karena itu tanda kelslaman mereka.” (Syarh Muslim 4/84)

Kedua: Dari Isham Al Muzani, ia berkata: Rasulullah bila mengirim pasukan mengatakan: “Bila kalian melihat masjid atau mendengar adzan jangan membunuh seorangpun.” (HR. Abu Daud no. 2635 dan Turmudzi no. 1549 Hadits ini di-dha’ifkan Syaikh Al albani dalam Dha’if Sunan Abu Daud no.565)

Imam Asy Syaukani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil….dibolehkannya berhukum dengan tanda dengan alasan bahwa nabi menyuruh untuk tidak menyerang hanya karena mendengar suara adzan.” (Nailul Authar 7/278)

Dan beliau berkata lagi: “Dalam hadits ini mengandung perintah untuk mengambil yang paling selamat dalam masalah darah, karena beliau menahan mereka untuk menyerang dalam keadaan itu walau sebenarnya mungkin saja mereka tidak demikian.” (Nailul Authar 7/278)

Dan beliau berkata juga: “Dan dalam hadits ini ada dalil bahwa semata mendapati masjid dalam sebuah negeri bisa dijadikan alasan untuk membatalkan penyerangan. Dan bisa menjadi tanda kelslaman penduduknya walau tidak ada didengar adzan di situ.

Karena Nabi memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dengan sebab dua hal: adanya masjid dan suara adzan.” (Nailul Authar 7/278)



Di sini ada dua titik perhatian:

Pertama: Berdalil dengan dua hadits ini bisa saja dibantah dengan: Tujuan hadits ini hanya untuk menerangkan tentang larangan menyerang sebuah negeri, bukan menerangkan tentang sifat negeri itu. Maka jawabannya: Hukum yang yang membuat negeri itu dilarang untuk diserang, adalah karena sifat negeri itu sendiri. Karena hukum yang membolehkan untuk menyerang penduduk negeri itu adalah karena negerinya negeri kufur. Imam Syafi’i berkata: “Hukum terhadap sebuah negeri adalah unsur yang membuat dia tidak boleh diserang.” (Ar Risalah hal. 300)

Kedua: Ini juga bisa dibantah dengan banyak negeri kufur yang ada masjid di situ dan didengar adzan. Jawaban untuk itu adalah: Yang dimaksudkan adalah kalau masjid dan adzan menjadi lambang negara itu. Rasulullah melarang untuk menyerang karena mendengar suara adzan adalah berdasarkan karena beliau bergaul dengan kampung-kampung Arab yang semata mendengar suara adzan sudah cukup untuk menjadi tanda bahwa penduduknya Islam, karena kecilnya kampung dan sedikitnya penduduk. Maka berarti masalah ini adalah masalah yang nisbi, kadang-kadang satu masjid menjadi lambang kelslaman penduduknya. Dan kadang-kadang sepuluh masjid tidak menjadi lambang kelslaman penduduknya.



Misal yang memperjelas adalah:

Prancis, disana dibangun masjid, akan tetapi bukan sebagai lambang negara, maka negara itu adalah negara kufur.

Kaum muslimin di Maroko menegakkan syi’ar-syi’ar Islam dan menjadi lambang negaranya, maka negara itu adalah negara Islam.

Dengan ini menjadi jelas bahwa darul Islam adalah negeri yang hukum-hukum Islam direalisasikan di situ, khususnya shalat. Dan darul Kufr adalah: negeri yang di situ tidak diterapkan padanya lepas hukum-hukum Islam, khususnya shalat.

Dan bukan yang dimaksudkan dengan mendirikan shalat adalah hanya dilakukan segelintir orang, tetapi menjadi amalan penguasa., Nabi berkata: “Tidak boleh memerangi mereka (para pemimpin), selama mereka masih mendirikan shalat bersama kalian” dan ” Tidak, selama mereka masih shalat.” Ini adalah lafaz-lafaz yang walau dalam masalah khawarij, tapi ada hubungan antara masalah ini dengan masalah sifat negara. Yang mana adanya shalat dalam dua keadaan ini menyebabkan negara itu tidak boleh diserang.” (Al Ghuluw fid Diin, Abdurrahman bin Mu’allah Al Luwaihiq hal.330-335).

Wallahu A’lam.



_________________________
Abunamira.wordpress.com
Salah Paham tentang Thaghut
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

Allah ta’ala berfirman :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” [QS. Al-Baqarah : 256].

(Sebagian) orang-orang takfiriy (= gemar mengkafirkan orang) seringkali menggunakan ayat di atas dan ayat-ayat semisal untuk menstigma orang-orang tertentu sebagai thaaghuut. Dan anggapan mereka, semua hal yang disebut thaaghuut oleh para ulama adalah kafir. Atau kongkrit yang akan diangkat dalam artikel ini : Ketika para ulama menjelaskan salah jenis thaaghuut adalah penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka penguasa itu statusnya kafir karena thaaghuut itu berstatus kafir.

Ini adalah kekeliruan deduksi berat yang banyak menjangkiti orang-orang takfiriy.

Benarkah setiap hal yang dinisbatkan kepada thaaghuut itu dihukumi kafir ?

Untuk menjawabnya, kita akan bahas lebih dahulu, apa sebenarnya thaaghuut itu ?.

Para ulama mempunyai ragam perkataan sebagaimana disebutkan di bawah :

Ia bisa berupa berhala/patung yang disembah, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَخْبَرَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَضْطَرِبَ أَلَيَاتُ نِسَاءِ دَوْسٍ عَلَى ذِي الْخَلَصَةِ "، وَذُو الْخَلَصَةِ: طَاغِيَةُ دَوْسٍ الَّتِي كَانُوا يَعْبُدُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah berkata Sa’iid bin Al-Musayyib : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan tegak hari kiamat hingga pantat-pantat wanita suku Daus berjoget di Dzul-Khalashah”. Dzul-Khulashah adalah thaaghuut (berhala) suku Daus yang mereka sembah pada masa Jaahiliyyah [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7116].


Ia bisa berupa syaithaan, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ وَكِيعٍ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنِ الشَّعْبِيِّ: "الطَّاغُوتِ: الشَّيْطَانُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu bakr, dari Wakii’, dari Zakariyyaa, dari Asy-Sya’biy : “Thaaghuut, yaitu syaithaan” [Ghariibul-Hadiits oleh Abu Ishaaq Al-Harbiy, 2/643; shahih].


Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :

وقال ابن قتيبة : كل معبود ؛ من حجر أو صورة أو شيطان : فهو جبتٌ وطاغوتٌ . وكذلك حكى الزجاج عن أهل اللغة

“Ibnu Qutaibah berkata : ‘Segala sesuatu yang disembah baik berupa batu, patung, ataupun syaithaan, maka ia adalah jibt dan thaaghuut’. Dan begitulah yang dihikayatkan oleh Az-Zujaaj dari para pakar bahasa” [Nuzhatul-A’yun An-Nawaadhir, hal. 410].


Ia bisa berupa dukun, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدٍ: "الطَّاغُوتِ: الْكَاهِنُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’iid : “Thaaghuut, yaitu dukun” [idem; shahih].

Ia bisa berupa tukang sihir, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الأَعْلَى، قَالَ: ثنا دَاوُدُ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، أَنَّهُ قَالَ: " الطَّاغُوتُ: السَّاحِرُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Daawud, dari Abul-‘Aaliyyah, bahwasannya ia berkata : “Thaaghuut, yaitu tukang sihir” [Tafsir Ath-Thabariy, 4/557; shahih].[1]


Atau berupa segala sesuatu yang disembah selain Allah, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ، ثنا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: قَالَ لِي مَالِكٌ " الطَّاغُوتُ: مَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Maalik pernah berkata kepadaku : “Thaaghuut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah” [Tafsir Ibni Abi Haatim, no. 2622; shahih].

Beberapa ulama memutlakkannya dengan semua orang yang menyeru kepada kesesatan, sebagaimana perkataan Al-Qurthubiy rahimahullah :

{وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ} أي اتركوا كل معبود دون الله كالشيطان والكاهن والصنم، وكل من دعا إلى الضلال

“Ayat : dan jauhilah thaaghuut’, maknanya : tinggalkanlah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, seperti syaithaan, dukun, berhala, dan semua yang menyeru kepada kesesatan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10/103].


Atau memutlakkannya pada setiap pemimpin kesesatan :
Ibnul-Mandhur rahimahullah berkata :

الطاغوتُ ما عُبِدَ من دون الله عز وجل وكلُّ رأْسٍ في الضلالِ طاغوتٌ وقيل الطاغوتُ الأَصْنامُ وقيل الشيطانُ وقيل الكَهَنةُ وقيل مَرَدةُ أَهل الكتاب

“Thaaghuut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah ‘azza wa jalla.  Dan segala pemimpin kesesatan adalah thaaghuut. Dikatakan, thaaghuut adalah berhala-berhala. Dikatakan pula : syaithaan dan dukun” [Lisaanul-‘Arab, hal. 2722 – materi kata طوغ].


Al-Fairuz Aabaadiy rahimahullah berkata :

والطاغوت : اللات , والعزى , والكاهن , والشيطان , وكل رأس ضلال , والأصنام ، وما عبد من دون الله , ومردة أهل الكتاب

“Dan thaaghuut adalah Laata, ‘Uzza, dukun, syaithaan, semua pemimpin kesesatan, berhala, sesuatu yang diibadahi selain Allah, dan orang-orang durhaka dari Ahlul-Kitaab” [Al-Qaamuus Al-Muhiith, 4/400].


Atau memutlakkannya pada setiap orang yang memalingkan dari jalan kebaikan/kebenaran.

Ar-Raaghib Al-Asfahaaniy rahimahullah sebagaimana dinukil dalam Taajul-‘Aarus berkata :

ويُرَادُ بهِ السّاحِرُ والماردُ منَ الجنِّ والصّارِفُ عنْ طَرِيقِ الخَيْرِ

“Dan yang dimaksudkan dengannya adalah tukang sihir, pentolan jin yang durhaka, dan orang yang memalingkan dari jalan kebaikan” [Taajul-‘Aarus, 1/5685].


Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :

وعلماءُ السوءِ الذين يدعون إلى الضلال والكفر أو يدعون إلى البدع أو إلى تحليل ما حرم الله أو تحريم ما أحل الله : طواغيتٌ

“Dan ‘ulama suu’ (yang jelek) yang mengajak kepada kesesatan dan kekufuran, atau mengajak kepada kebid’ahan, atau mengajak kepada menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka mereka disebut thaaghuut” [Syarh Tsalaatsatil-Ushuul, hal. 151].


Bahkan, thaaghuut itu mencakup orang yang memakan uang suap dan beramal tanpa ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah :

والطواغيت كثيرة , والمتبين لنا منهم خمسة : أولهم الشيطان وحاكم الجور وآكل الرشوة ومن عُبدَ فرضيَ والعامل بغير علم

“Thaaghuut itu banyak jenisnya, dan yang telah kami jelaskan di antaranya ada lima, yaitu : syaithaan, hakim yang curang, pemakan risywah (uang sogok), orang yang diibadahi (selain Allah) dan ia ridlaa, serta orang yang beramal tanpa ilmu” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/137].


Mencakup juga dinar dan dirham, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

وهو اسمُ جنسٍ يدخل فيه : الشيطان والوثن والكهان والدرهم والدينار وغير ذلك

“Ia (thaaghuut) merupakan isim jenis yang masuk padanya : syaithaan, berhala, dukun, dirham, dinar, dan yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 16/565].


Mencakup pula orang yang merubah hukum Allah dan/atau tidak berhukum dengan hukum Allah, sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang lain :

والطاغوت عام، فكل ما عُبد من دون الله، ورضي بالعبادة من معبود أو متبوع أو مطاع في غير طاعة الله ورسوله، فهو طاغوت.
والطواغيت كثيرة ورؤوسهم خمسة:
(الأول): الشيطان الداعي إلى عبادة غير الله، والدليل قوله تعالى:{أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}.
( الثاني ): الحاكم الجائر المغير لأحكام الله تعالى، والدليل قوله تعالى:{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً}.
( الثالث ): الذي يحكم بغير ما أنزل الله، والدليل قوله تعالى:{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}...
( الرابع ): الذي يدعي علم الغيب من دون الله، والدليل قوله تعالى:{عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً}. وقال تعالى:{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}.
( الخامس ): الذي يعبد من دون الله وهو راض بالعبادة، والدليل قوله تعالى:{وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ}.

“Thaaghuut itu banyak macamnya, dan biang-biangnya ada lima, yaitu : Pertama, syaithaan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaithaan? Sesungguhnya syaithaan itu adalah musuh yang nyata bagimu’. (QS. Yasin : 60). Kedua, penguasa lalim yang merubah hukum-hukum Allah ta’ala, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 60). Ketiga, orang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Keempat, orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, padahal itu adalah hak khusus Allah; dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘(Dia adalah Rabb) yang mengetahui hal ghoib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghoib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya’ (QS. Al-Jin : 26-27); dan firman-Nya : ‘Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)’ (QS. Al-An’aam : 59). Kelima, segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut. Adapun dalilnya adalah firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan, 'Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain daripada Allah', maka orang itu kami beri balasan dengan Jahannam, demikian kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 29)” [Majmuu’ Rasaail fit-Tauhiid wal-Iimaan, hal. 377-378].


والطواغيت كثيرة، ورؤوسهم خمسة: إبليس لعنه الله، ومن عبد وهو راض، ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه، ومن ادعى شيئا من علم الغيب، ومن حكم بغير ما أنزل الله

“Thaaghuut itu banyak macamnya, dan biangnya ada lima : (1) Iblis la’natullah, (2) orang yang diibadahi selain Allah dan ia ridlaa kepadanya, (3) orang yang menyeru manusia untuk meng-ibadahi dirinya, (4) orang yang mengklaim mengetahui ilmu ghaib, dan (5) orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah” [Tsalaatsatul-Ushuul, hal. 195].


Ibnu Katsiir rahimahullah ketika menafsirkan ayat :

يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” [QS. An-Nisaa’ : 60].


beliau berkata :

والآية أعم من ذلك كله، فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة، وتحاكموا إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هاهنا

“Dan ayat tersebut lebih umum maknanya dari semua yang disebutkan itu, karena ia merupakan celaan bagi orang yang menyimpang dari Al-Qur’am dan As-Sunnah, dan mereka berhukum kepada selain keduanya, yaitu kepada kebathilan. Itulah yang dimaksudkan dengan thaaghuut pada ayat ini” [Tafsir Ibni Katsiir, 2/346].


Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahullah mencoba merangkum pendefinisian thaaghuut : :

والصواب من القول عندي في"الطاغوت"، أنه كل ذي طغيان على الله، فعبد من دونه، إما بقهر منه لمن عبده، وإما بطاعة ممن عبده له، وإنسانا كان ذلك المعبود، أو شيطانا، أو وثنا، أو صنما، أو كائنا ما كان من شيء

“Dan yang benar menurutku tentang perkataan thaaghuut, bahwasannya ia adalah segala sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah, lalu diibadahi selain dari-Nya, baik dengan adanya paksaan kepada orang yang beribadah kepadanya, atau dengan ketaatan orang yang beribadah kepadanya. Sesuatu yang diibadahi itu bisa berupa manusia, syaithaan, berhala, patung, atau yang lainnya” [Tafsir Ath-Thabariy, 5/419].


Dan kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan definisi yang lebih mencakup dengan perkataannya :

والطاغوت كل ما تجاوز به العبد حده من معبود و متبوع أو مطاع فطاغوت كل قوم من يتحاكمون إليه غير الله ورسوله أو يعبدونه من دون الله أو يتبعونه على غير بصيرة من الله أو يطيعونه فيما لا يعلمون أنه طاعة الله

“Thaaghuut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas; baik sesuatu itu dari hal yang diibadahi, diikuti, atau ditaati. Maka thaaghuut itu setiap kaum yang berhukum kepadanya selain dari Allah dan Rasul-Nya, atau mereka menyembah selain dari Allah, atau mereka mengikutinya tanpa adanya pentunjuk dari Allah, atau mereka mentaatinya terhadap segala sesuatu yang tidak mereka ketahui bahwasannya hal itu merupakan ketaatan kepada Allah” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/50].


Rekan-rekan,… dari sini kita dapat tahu kekeliruan orang-orang takfiriy itu. Tidak semua yang disebut thaaghuut itu adalah kafir. Benar, bahwasannya syaithaan, dukun, dan tukang sihir itu kafir, karena dalil-dalil secara jelas menunjukkan akan kekafirannya.

Tapi apakah patung itu juga dihukumi kafir ?.

 Jawabannya : Tentu tidak, karena ia adalah benda mati yang tidak bisa disifati dengan kekufuran, sebagaimana tidak bisa disifati dengan lawannya (iman dan Islam). Hal yang sama dengan dinar dan dirham yang menjadi thaaghuut bagi orang yang tamak kepadanya .

Begitu juga dengan pemakan suap. Walaupun ia termasuk pelaku dosa besar[2], namun memakan suap bukanlah jenis dosa yang secara asal menyebabkan pelakunya terjerembab dalam kekafiran (akbar) berdasarkan kesepakatan Ahlus-Sunnah.[3]

Begitu juga dengan ulama suu’ dan mubtadi’ atau ahlul-bid’ah yang menyeru kepada kesesatan. Mereka tidak bisa dimutlakkan kafir, karena para Ahlus-Sunnah telah memerincinya, apakah bid’ah yang didakwakannya itu merupakan bid’ah mukaffirah atau ghairu mukaffirah.[4]

Begitu juga dengan penguasa dhaalim, ia tidak bisa dimutlakkan dengan kekafiran. Rasulullah shallallaallhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang kemunculan atsarah :

إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ

“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat ( Abu Al-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl”  [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7057 dan Muslim no. 1845].[5]


Perintah bersabar (dan larangan keluar dari ketaatan) merupakan nash bahwa atsarah-atsarah tersebut tidaklah dihukumi kafir (murtad).
dan yang lainnya….


Jika demikian,…. maka pensifatan thaaghuut kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah pun demikian, yaitu tidak bisa dimutlakkan kepada kekafiran, karena ia membutuhkan perincian sebagaimana dimaklumi di kalangan Ahlus-Sunnah. Telah berlalu beberapa artikel di Blog ini yang membahasnya.[6]


Ringkas kata, kekafiran thaaghuut itu harus dikembalikan setiap jenisnya dan dalil yang menopangnya. Barangsiapa yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi kita menghukuminya kafir; namun sebaliknya, barangsiapa yang tidak dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh seorangpun yang menghukuminya kafir. Kekafiran bukan semata-mata pensifatan thaaghuut pada sesuatu.

Jangan Anda terpedaya dengan sebagian omongan mereka yang dikit-dikit bicara thaaghuut, lalu ujungnya : kafir.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.


______________________________________________
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yk].

[1]     Namun dalam riwayat lain dengan sanad sama dari ‘Abdul-A’laa disebutkan :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى، عَنْ دَاوُدَ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ: " الطَّاغُوتِ: الشَّاعِرُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Daawud, dari Abul-‘Aaliyyah, ia berkata : “Thaaghuut, yaitu penyair” [Ghariibul-Hadiits oleh Abu Ishaaq Al-Harbiy, 2/643; shahih].
Kemungkinan, ada tashhiif dalam riwayat ini, wallaahu a’lam.

[2]     Sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ ". قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari pamannya (jalur ibu) Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Salamah, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberikan uang suap dan orang yang menerima uang suap” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1337, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih].

[3]     Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

اتَّفق أهل السنة والجماعة – وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام

“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah  dan mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya meskipun itu dosa besar  “ [At-Tamhiid, 16/315].

[4]     Telah berkata Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy dalam kitabnya Ma’aarijul-Qabuul (2/503-504) :

ثم البدع بحسب إخلالها بالدين قسمان:
 مكفرة لمنتحلها.
 وغير مكفرة.
فضابط البدعة المكفرة : من أنكر أمرا مجمعا عليه ، متواترا من الشرع ، معلوما من الدين بالضرورة ، من جحود مفروض ، أو فرض مالم بفرض ، أو إحلال محرم ، أو تحريم حلال ،أو اعتقاد ماينزه الله ورسوله وكاتبه عنه...
والبدعة غير المكفرة: هي مالم يلزم منه تكذيب بالكتاب ، ولابشىء مما أرسل به، ثم مثل لذلك فقال: مثل بدع المروانية، أي – بدع حكام الدولة من بني مروان التي أنكرها عليهم فضلاء الصحابة ، ولم يقروهم عليها- ومع ذلك لم يكفروهم بشىء منها، ولم ينزعوا يدا من بيعتهم لأجلها، كتأخير بعض الصوات عن وقتها ، وتقديمهم الخطبة قبل صلاة العيد...

“Kemudian bid’ah sesuai dengan pengrusakannya terhadap agama dibagi menjadi dua :
a. Mengkafirkan pelakunya
b. Tidak mengkafirkan pelakunya.
Batasan bid’ah yang mengkafirkan pelakunya adalah bila seseorang mengingkari perkara-perkara yang telah disepakati, mutawatir dalam syari’at, diketahui secara pasti termasuk bagian dari agama, mengingkari kewajiban atau mewajibabkan perkara yang tidak wajib, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau meyakini sesuatu yang telah dibersihkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta kitab-Nya.
Sedangkan bid’ah yang tidak mengkafirkan pelakunya adalah bid’ah yang tidak menjadikan seseorang mendustakan Kitab atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bid’ah Marwaniyyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang diada-adakan oleh pemerintah Bani Marwan yang diingkari oleh tokoh-tokoh shahabat. Meskipun demikian, para shahabat tidak mengkafirkan mereka dengan sebab bid’ah tersebut, dan juga tidak mencabut bai’at dari mereka akibat bid’ah tadi. Misalnya : bid’ah mengakhirkan waktu shalat dan mendahulukan khutbah sebelum shalat ‘Ied” [selesai].
Selengkapnya, silakan baca : Hukum Mubtadi’ (حكم المبتدع)

[5]     An-Nawawi rahimahullah berkata :

فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه

“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].

[6]     Silakan baca :
Shahih Atsar Ibnu ‘Abbas : Kufrun Duuna Kufrin  Menjawab Sebagian Syubhat Takfiiriyyuun
MENYIKAPI PENGUASA YANG DHALIM – Tanya Jawab
Penghalalan (Istihlaal) Dalam Amal Perbuatan Yang Mengkonsekuensikan Kekafiran

QS. An-Nisaa’ Ayat 65 Sebagai Dalil Pengkafiran Orang Yang Berhukum Dengan Selain Yang Diturunkan Allah ?
Tidak Berhukum Dengan Syari’at Yang Diturunkan Allah.
Kafirnya Seorang Haakim Atau Penguasa Tidaklah Melazimkan Kebolehan Keluar Ketaatan Dan Mengangkat Senjata Kepadanya.



____________________________________
Sumber : Abul-Jauzaa.blogspot.co.id